DJOHAN EFFENDI dan AHMADIYAH
In Memoriam Djohan Effendi: Bapak Dialog Antariman
Oleh AHAMAD
GAUS AF
Di tengah krisis nilai-nilai
toleransi yang menyergap kehidupan keagamaan kita akhir-akhir ini, kita
dikejutkan oleh berita wafatnya tokoh toleransi, Dr. Djohan Effendi, di Geelong, Australia,
kemarin Jumat, 17 November 2017 dalam usia 78 tahun. Duka cita mendalam
diserukan oleh para sahabat, sejawat, dan murid-muridnya yang pasti sangat
kehilangan sang guru–manusia langka yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya
untuk membangun dialog dan perdamaian antaragama/iman.
Djohan Effendi (lahir di
Banjarmasin, 1 Oktober 1939) bukanlah nama asing di kancah pergerakan Islam di
tanah air. Walaupun orang kerap membandingkannya dengan Gus Dur (Abdurrahman
Wahid) dan Cak Nur (Nurcholish Madjid), dan memposisikan perannya di bawah
kedua tokoh pluralisme tersebut, Djohan sebenarnya memiliki peran yang unik
yang tidak dimainkan baik oleh Gus Dur maupun Cak Nur. Dua nama terakhir ini
lazim berbicara mengenai hal-hal besar semisal umat, peradaban, atau bahkan
masa depan Islam.
Djohan tampaknya lebih tertarik
pada hal-hal sederhana seperti iman yang bersifat pribadi, kehidupan spiritual,
puisi sufistik, hingga nasib kelompok sempalan. Namun demikian, risiko yang dia
terima sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Gus Dur dan Cak Nur yang kerap
menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang menuding mereka sebagai sesat
dan menyesatkan.
Dibandingkan dengan Gus Dur dan
Cak Nur yang lebih banyak bicara tentang prinsip-prinsip toleransi dengan
seruan umum, Djohan langsung memposisikan dirinya sebagai pembela “aliran
sesat”. Kedekatannya dengan
kelompok-kelompok yang dianggap sempalan seperti Ahmadiyah, Baha’i, dan
aliran-aliran kepercayaan, membuatnya sangat rentan menjadi sasaran tuduhan.
Jangankan oleh kelompok konservatif, oleh teman-teman seperjuangannya sendiri
di garis progresif ia dibilang bukan penganut Islam sunni.
Sahabat Djohan di HMI, M. Dawam
Rahardjo, misalnya, masih meyakini bahwa Djohan adalah orang Ahmadiyah. Bahkan
Utomo Dananjaya, sahabatnya yang lain, menyapa Djohan dengan sebutan Si
Ahmadiyah. Walaupun begitu, baik Dawam maupun Utomo sebenarnya tidak pernah
mempersoalkan keahmadiyah Djohan, bahkan keduanya juga menjadi pembela
Ahmadiyah yang militan.
Belakangan seorang pimpinan teras
Ahmadiyah mengklarifikasi bahwa Djohan tidak pernah tercatat sebagai anggota
Ahmadiyah, ia hanya pernah mempelajari Ahmadiyah secara mendalam. Akan halnya
Djohan sendiri, ia tidak pernah bicara apa pun atau menjawab tuduhan-tuduhan
itu.
Di kalangan kelompok Islam yang
gemar mendeteksi aliran sesat, nama Djohan Effendi ditaruh di urutan teratas
sebagai orang yang paling berbahaya, dibandingkan nama-nama lainnya. Mungkin
karena mereka tahu bahwa Djohan selalu membela kelompok sempalan, lebih-lebih
karena dia pejabat tinggi di Departemen Agama, sehingga posisinya bisa
disalahgunakan untuk melegalkan aliran-aliran yang mereka anggap sesat itu.
Sementara Djohan tetap saja dengan
visinya yang sederhana, bahwa setiap sistem kepercayaan (termasuk agama kecil,
agama lokal, aliran tertentu) memiliki hak yang sama untuk diakui, baik di
masyarakat maupun di hadapan negara. Dan nyatanya ia memang selalu
memperjuangkan hak hidup agama-agama kecil itu di Depag.
Walaupun usahanya tersebut tidak
membuahkan hasil yang maksimal, orang tidak akan melupakan perannya yang besar
dalam membangun paradigma baru hubungan antaragama semasa ia aktif sebagai
pejabat Depag pada tahun 1970-an. Djohanlah yang menginisiasi lahirnya dialog
di antara para pemuka agama dalam kapasitas mereka sebagai pribadi-pribadi,
bukan sebagai wakil lembaga keagamaan, sehingga suasana kebebasan sangat
ditekankan, melampaui misi kelembagaan yang kerap menjadi beban. Program ini
kemudian menjadi inspirasi bagi lahirnya kegiatan-kegiatan serupa (dialog
antaragama/iman) oleh kelompok-kelompok civil society, hingga sekarang.
Menurut Djohan, suasana
kehidupan beragama masyarakat lebih banyak didominasi oleh rumor dan isu.
Akibatnya, kerukunan hidup beragama menjadi terganggu. Bahkan atas dasar itu
pemerintah bisa saja mengambil kebijakan yang keliru. Maka kemudian Djohan
menggagas program penelitian bersama para tokoh agama dan akademisi mengenai
persoalan-persoalan hidup beragama di tingkat akar rumput. Hasilnya digunakan
oleh pemerintah untuk membuat kebijakan yang berorientasi pada terciptanya
suasana saling memahami di antara para pemeluk agama.
Satu hal lagi yang selalu
mengganggu pikiran Djohan ialah adanya “batas” di antara para pemeluk agama
sehingga satu sama lain tidak saling melihat, alih-alih saling memahami. Batas
itu tercipta karena ajaran yang diintroduksi
kepada masing-masing umat adalah ajaran tentang kebenaran dan
kesempurnaan agama sendiri berhadapan dengan kesalahan dan kekurangan agama
lain. Djohan ingin melebur batas-batas itu dengan program interaksi yang intens
di antara para pemeluk agama.
Maka, ia membuat program kamping
bersama. Target dari program ini ialah terjalinnya hubungan pribadi antara para
peserta dan masing-masing mereka mengalami hidup bersama dengan pemeluk agama
lain. Dari program ini para peserta juga memahami bahwa toleransi sejatinya
ialah praktik atau tindakan nyata, bukan deskripsi teologis atau norma-norma
yang abstrak. Kalau sekarang kita mengenal program live in yang diselenggarakan
oleh kelompok-kelompok masyarakat di wilayah pasca konflik, maka hal itu bisa
diurut asal-usulnya pada gagasan Djohan Effendi tersebut.
Djohan tidak pernah
menutup-nutupi usahanya untuk membangun kesetaraan di antara berbagai agama dan
aliran kepercayaan. Dan ia tidak peduli dengan hujatan yang ditujukan kepada
dirinya.
Ia pernah berujar: “Saya
menentang semua bentuk diskriminasi dan ketidakadilan kapan pun, di mana pun,
dan dalam hal apapun. Dalam hal ini tidak ada kata kompromi.” Ia tahu bahwa
sikapnya menimbulkan polemik dan dapat merugikan dirinya sendiri, tapi ia
merasa lebih merugi apabila diam saja melihat diskriminasi dan intoleransi.
Sebagai cendekiawan dan
aktivis, Djohan memang lebih banyak bekerja daripada bicara, sehingga namanya
memang kurang populer dibanding teman-teman seangkatannya seperti Cak Nur, Gus
Dur, M. Dawam Rahardjo, dan yang lainnya. Namun itu tidak berarti ia tidak
penting. Anak-anak muda yang menjadi muridnya, atau siapa pun yang pernah
bersentuhan dengan karya-karyanya maupun pribadinya tidak akan terlalu sulit
melihat posisi Djohan dalam peta pergerakan Islam di tanah air.
Dari Djohan Effendi kita bisa belajar
bahwa iman yang otentik lahir dari pergulatan panjang dan terus-menerus,
perjalanan yang melelahkan, bahkan berpotensi menyeret ke jurang ateisme
sebagaimana pernah dialami Djohan sendiri saat menyimak perdebatan Al-Ghazali
dan Ibn Rusyd tentang keabadian alam dan kebangkitan ruhani. Dalam keadaan
bimbang, ia diselamatkan oleh teologi Ahmadiyah yang memadukan rasionalitas dan
pendekatan spiritual. Namun ia tidak menjadi Ahmadiyah.
Sebagaimana ia juga pernah
mengagumi Masyumi, PERSIS, aktif di HMI, dan sebagainya, namun ia tidak menjadi
itu semua. Ia adalah seorang pejalan sejati (salik). Dan perjalanannya yang
tidak pernah selesai itu justru membuatnya arif karena tidak pernah merasa
sampai pada kebenaran, sehingga tidak perlu mengklaim kebenaran itu
sendiri,lalu djadikan alat untuk menghakimi kebenaran yang diyakini orang lain.
Dari Djohan Effendi kita juga
belajar pentingnya dialog sebagai aktivitas yang dapat menjembatani perbedaan
dan mereduksi sikap saling curiga. Kesediaan untuk berdialog memang membutuhkan
kesadaran agama yang bersifat terbuka (teologi inklusif); dan kesadaran semacam
itu bukan hanya kesadaran kognitif melainkan juga suatu tindakan, yaitu
tindakan menerima orang lain dan berada bersama mereka.
Dari program-program dialog
antaragama, Djohan kemudian melangkah lebih jauh ke dialog antariman. Karena
menurutnya, praksis dialog agama selama ini hanya melahirkan toleransi sosial.
Dan toleransi jenis ini masih rapuh dan mudah terjatuh pada sikap saling
curiga. Karena itu, Djohan mencoba memecahkan masalah ini dari akarnya, yaitu
iman. Dari sinilah kemudian lahir gagasan Djohan tentang dialog antariman.
Gagasan yang bergulir sejak awal tahun 1990-an itu kemudian menggelinding dan
menjadi semacam trend di kalangan para aktivis lintas agama.
Saat ini, di tengah kehidupan
keagamaan yang dirundung defisit kepercayaan dan toleransi, gagasan dialog
antariman menjadi relevan untuk dihadirkan kembali ke permukaan.
Selamat jalan Pak Djohan.
Namamu akan terus terukir di benak para salik, orang-orang yang tidak pernah
berhenti mencari kebenaran dengan segala kerendahan hati; jauh dari kesombongan
atau sikap merasa paling benar sendiri.----
Artikel ini disalin dari penggalan isi Buku Djohan Effendi Cerita Para Sahabat halaman 3 sampai 6 ,Penerbit ICRP, Editor Ahmad Nurcholish & Frangky Tampubolon Jakarta, 2018.
Buku ini dilaunching pada acara Djohan Effendi Memorial Lecture Seri I : Kemanusiaan Meneguhkan Kebangsaan, Rabu ,10 Januari 2018 di Auditorium Widya Graha LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No.10 Jakarta Selatan. Hadir para Sahabat Djohan Effendi dan para pendiri ICRP ( Indonesian Conference on Religion and Peace ) diantaranya Musdah Mulia , Sudhamek, Amin Abdullah, Greg Barton, H.S. Dilon, Ahmad Nurcholis dll. Hadir pula sahabat-sahabat dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia Maulana Zafrullah Pontoh Mbsy, Maulana Sayuthi Azis Sahid, J.H. Lamardi S.H., Haji Agus Mubarik S.H. , Tauhid Tjakrahadisurya dan Darisman Broto beserta para ibu-ibu Lajnah Imaillah Jakarta.
Darisman Broto di latar belakang para hadirin Djohan Effendi Memorial Lecture Seri I
Maulana Sayuthi Azis Sahid dan Maulana Zafrullah Pontoh duduk bersama tokoh sahabat Djohan Effendi
Darisman Broto, Bapak Haji Agus Mubarik dan Bapak Tauhid Tjakraadisurya duduk diantara para hadirin.
Kenangan bersama Bapak Djohan Effendi di kediamannya Apartemen Aston Senen Jakarta, 10 Pebruari 2016 dengan para antifis keberagaman dan Anggota Jemaat Ahmadiyah Kebayoran dalam acara Diskusi Reboan
Miliki dan gunakan Lampu Anti-Nyamuk untuk melindungi dan kenyamanan tidur Anda dan Keluarga
http://natijar.com/product/detail/56
Nutrilite Salmon Omega-3 Complex Mengandung Vitamin E 20,1 mg dan Salmon Oil yang mengandung Asam Lemak Omega 3 Esensial (180 mg EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan 120 mg DHA (Docosahexaenoic Acid)) untuk membantu memelihara kesehatan. POM SI 044 512 011.Hubungi ; 08129307398
Komentar
Posting Komentar