Mirza Ghulam Ahmad Nabi Atau Bukan ?


      Mirza Ghulam Ahmad Nabi Atau Bukan ?
         
          Oleh Darisman Broto *


Salam hormat buat
Bapak Prof Dr K.H. Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU,
Bapak Dr. K.H. Asep Saifuddin Chalim, M.A. Ketua Umum PP.PERGUNU Penulis buku ASWAJA: Pedoman untuk Pelajar , Guru, dan Warga NU,
dan Prof. Dr. K.H. Quraish Shihab Direktur Pusat Studi Al-Quran
                
             
              Satu hal lagi yang perlu diluruskan dari sekian puluh atau ratusan kesalahpahaman para ulama maupun umat Islam yang perlu mendapat penjelasan kebenaran yang sesungguhnya tentang Jamaah Muslim Ahmadiyah dan pendirinya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as..Yaitu ada yang mengatakan bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmadas( biasa disebut Hazrat Ahmad as) pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah tidak pernah menyatakan dirinya sebagai “ Nabi”. Tetapi umat atau para pengikutnyalah yang mengangkat beliau asadalah seorang Nabi dan beliau diam. Pendapat ini terlontar oleh ulama dan yang kini menjadi Ketua Umum PBNU Bapak Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj dalam acara Debat Terbuka Kiai Muda NUJawa Timur dan Bapak K.H. Said Aqil Siroj 1).
              
           Benarkah demikian, apakah Hazrat Ahmad aspernah mendakwakan diri sebagai “Nabi” atau hanya umat atau pengikutnya  yang mengangkat atau menobatkan beliau sebagai “Nabi”. Mari kita simak bersama.

Pendakwaan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as
             
            Ketika terjadi silang pendapat dan keraguan atas pendakwaan Hazrat Ahmad asdikalangan Jamaahnya. Pada tahun 1901 Hazrat Ahmad askembali menegaskan bahwa beliauasmendapat wahyu dari Allah swt yang mengandung kata-kata rasul , mursal dan nabi yang tidak sekali atau dua kali saja tetapi sampai beratus-ratus kali2).  Dalam kitab lainnya Al-Istifa , halaman 18 beliau asmenulis “ Sesungguhnya Allah telah menamakan Nabi kepadaku dengan wahyu-Nya, demikian juga Dia telah menamakan Nabi sebelum itu melalui sabda rasul kita al-Musthafa.” Selanjutnya di halaman 46 dalam kitab itu juga beliau asmenegaskan ,“ Dan dengan benar aku telah diutus, maka apa yang menyebabkan kamu tidak mengerti ? “Di lain tempat di dalam Kitab Tuhfah Baghdad halaman 11 beliauasmenegaskan kembali ,” Sungguh aku telah diutus ( sebagai rasul ) dari Tuhannya para hamba.”
              
              Kata-kata Hazrat Ahmad as yang dinyatakan dalam kitab-kitabnya itu sangat gamblang sekali menyatakan pengakuan beliau assebagai Nabi atau Utusan Tuhan. Bukan makna kiasan, tersamar atau tersirat. Dan fakta sejarah yang bisa terekam dalam kehidupan beliau asmendapat penentangan dari para ulama Islam maupun ulama ( pendeta ) agama-agama lain. Karena apa ,itu karena pengakuan beliau asmendapatkan wahyu dan sebagai utusan Tuhan atau Nabi dengan gelar Al-Masih Akhir Zaman.  Kita tahu sebagai contoh tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu K.H. Ahmad Dahlan yang dalam awal pergerakannya juga dimusuhi oleh para kiai atau ulama pada saat itu. Karena apa , itu karena beliau dengan “kurang ajarnya “ akan merubah arah kiblat masjid yang ada pada saat itu. Dan hendak menghilangkan praktek-paraktek amalan dalam umat Islam yang dianggap atau berpenyakit TBC ( Tahayul , Bid’ah , Churafat ).
               Dari rekam jejak sejarah kita sudah mengetahui kedua tokoh ini kenapa pada awal mula pergerakannya beliau-beliau dimusuhi oleh para ulama pada saat itu. HazratAhmad as dimusuhi karena pengakuan kenabiannya , sebagai menifestasi Isa Akhir Zaman. Jadi apa yang dikatakan Kiai Said bahwa Hazrat Ahmad astidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Nabi sudah terbantahkan oleh pertama, pernyataan-pernyataan beliau asdalam kitab-kitabnya. Kedua oleh fakta sejarah kehidupan beliau yang dimusuhi oleh para ulama yang menentang atau mendustainya atas pengakuannya sebagai Al-Masih Yang Dijanjikan ( Al-Masih Al Mau’ud ).

Kenabian Hazrat Mirza Ghulam Ahmadas Dalam Pandangan Warga Ahmadi
          
         Banyak dikalangan ulama maupun umat Islam yang berpandangan bahwa setiap orang yang mendapat wahyu itu adalah Nabi atau Rasul , dan setiap Nabi atau Rasul itu membawa agama baru dan mempunyai Kitab Suci tersendiri. Hal kesalahpahaman inilah  yang musti diluruskan.
               
           Dalam sejarah kenabian seperti Nabi Musa as yang dalam masa periode kenabiannya ada juga sosok Nabi Harun as disisinya. Apakah Nabi Harun as mempunyai risalah atau ajaran agama dan Kitab Suci tersendiri di luar syariat Musa as . Pun demikian di periode kenabian Nabi Ibrahim as ada Nabi Ismail as dan Ishak as..Nah, apakah Nabi Ismail as dan Nabi Ishak as mempunyai agama dan Kitab Suci tersendiri di luar syariat Bapaknya. Pasti semua akan menjawabnya tidak.
               
            Dari sini dapat disimpulkan ada dua macam jenis kenabian, Nabi yang membawa Syariat dan Nabi yang tidak membawa syariat. Nabi pembawa syariat adalah Nabi yang mendapatkan suatu ajaran ( syariat ) baru atau tambahan yang belum ada pada Nabi sebelumnya. Nabi yang tidak membawa syariat yaitu Nabi yang hanya mengikuti ajaran Nabi sebelumnya, dan dalam hal ini Hazrat Ahmad as menyebutnya sebagai Nabi ummati. 
                
              Dapat penulis nukil disini pernyataan beliauas, “ Dengan jelas sekali gelar Nabi diberikan kepada saya, akan tetapi dari satu sisi saya adalah Nabi dan dari sisi lain saya adalah ummati3). Jadi kedudukan kenabian Hazrat Ahmadas sebagai Nabi Ummati yang mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW yang berkitab suci Al Quran juga.  Hal ini juga seperti yang dinyatakan dari berbagai Hadis yang meriwayatkan bahwa “ Isa Akhir Zaman “ akan mengikuti syariat Islam.
            
            Dr. K.H. ASep Saifuddin, M.A. dalam Bukunya ASWAJA:Pedoman untuk Pelajar , Guru dan Warga NU mempertanyakan Klaim Kenabian Hazrat Ahmadas. Kiai Asep menulis  , “ Seluruh ulama sejak masa sahabat hingga kini sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Di dalam Al-Quran, umat Islam berulang kali diperintah untuk beriman dengan wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dan wahyu yang turun sebelumnya. Tidak satu pun ayat yang mengharuskan iman kepada wahyu yang turun setelahnya. Hal ini membuktikan bahwa setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW tidak ada wahyu lagi. Seandainya masih ada lagi wahyu yang akan turun, maka pasti diisyaratkan di dalam Al-Quran, seperti halnya Allah swt memberi isyarat tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW dalam kitab terdahulu. Inilah bukti bahwa makna Khaatamunnabiyyin adalah Nabi terakhir.
Lebih lanjut Kiai Asep berkomentar, “ Al-Quran juga telah menegaskan bahwa agama Islam telah sempurna sehingga tidak memerlukan seorang Nabi baru. Keyakinan Ahmadiyah bahwa masa ini masih memerlukan seorang Nabi  justru mencederai kesempurnaan Islam. Selain itu, tidak ada sama sekali disebutkan dalam Al-Quran dan hadis adanya Nabi zhili( bayangan ) atau buruzi ( penampakan duplikat ) seperti yang diklaim Mirza yang datang setelah Nabi Muhammad SAW. 4)
             
                Lain Kiai Said lain pula Kiai Asep berpendapat, walau sama-sama dalam naungan Nahdlatul Ulama.  Kiai Said mengatakan bahwa Hazrat Ahmad as tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Nabi. Tetapi Kiai Asep berpendapat Hazrat Ahmad asmengakui dirinya sebagai Nabi, dengan bukti-bukti dari Kitab-kitab yang disajikan sebagai referensi. Nah, betulkah Kiai Asep menggunakan Kitab-kitab dari Hazrat Ahmad asdari sumber aslinya atau dari pihak ketiga. Dan yang terpenting adalah samakah kesimpulan Kiai Asep tentang “kenabian “ Hazrat Ahmad as dengan yang diyakini warga Jamaah Muslim Ahmadiyah pada umumnya yang kerap disebut Ahmadi ?
              
              Pertama mari kita buka Al-Quran Surah An-Nisa ayat 70 “ Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu termasuk golongan orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan nikmat, yakni NABI-NABI, Sidiq-sidiq, Syahid-syahid, dan Sholihin-sholihin….. 5) . Sebagaimana Al-Quran akan terus terawat sampai kapan pun janji Allah swt itu juga masih berlaku, bahwa bagi yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan diberikan nikmat KENABIAN dan seterusnya.
               
              Kedua, silakan buka lagi Al-Quran Surah Al-Hajj ayat 76 “ Allah senantiasa  memilih rasul-rasul-Nya dari antara para malaikat dan dari antara manusia.”6) Dalam ayat ini kata “memilih “ . Menurut ketentuan bahasa Arab ,“ yashthofi “ itu adalah fi’il mudhori yang menunjukan pekerjaan sedang dan akan dilakukan.
               
              Isyarat ketiga yang diberikan Al-Quran juga bisa dilihat pada Surah Al-Baqarah ayat 5 , “ Dan mereka yang beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau, juga kepada apa yang telah diturunkan sebelum engkau dan kepada akhirat pun mereka yakin7)  . Kata “ akhirat “  mempunyai arti ukhrawi yaitu kehidupan di hari kemudian juga mempunyai arti wahyu yang akan datang. Hal ini lebih lanjut diterangkan dalam QS. 62:3-4 tentang kedatangan “seorang Rasul “ yang diutus ditengah bangsa Arab ( kaum ummi ) yaitu Nabi Muhammad SAW dan seorang yang akan datang yang diutus di tengah kaum yang belum dikenal dikalangan mereka yaitu kaum akhorin , di luar bangsa Arab, siapakah dia ?
              
               Mari kita telisik dengan lebih jernih lagi apa yang diisyaratkan dalam Surah Jum’ah itu akan datang “ seorang Rasul “ yang dibangkitkan pertama di kalangan bangsa atau kaum Ummi , kedua di kalangan kaum akhorin. Apakah Nabi Muhammad SAW yang sudah jelas dan nyata diutus dan dilahirkan di kalangan kaum Ummi dan sudah wafat kemudian hidup lagi di masa datang dan lahir kembali di kalangan kaum akhorin ? Tentu tidak. Itulah dia yang diisyarat dan  dipahami oleh Jamaah Muslim Ahmadiyah seorang yang dibangkitkan di kalangan kaum akhorin yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as sebagai Al-Masih Yang Dijanjikan ( Al-Masih Al-Mau’ud ). Namun demikian dalam hal ini penulis juga tidak menampik bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia dan manusia paripurna sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana diterangkan di dalam Al-Quran di pelbagai Surah dan ayat.
          
             Dalam Hadis Bukhari dikisahkan berkaitan dengan Surah Juma’ah ini. Abu Hurairah r.a. berkata, pada suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW , ketika Surah Jum’ah diturunkan. Saya minta keterangan kepada Rasulullah SAW, “ siapakah yang diisyaratkan oleh kata-kata ,  “ Dan Dia akan membangkitkannya juga pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka” –Salman al-Farsi ( Salman asal Persia ) sedang duduk di antara kami. Setelah saya mengajukan pertanyaan berulang-ulang  pertanyaan itu, Rasulullah SAW meletakan tangan beliau pada pundak Salman r.a. dan bersabda , “ bila iman telah terbang ke Bintang Tsuraya , seorang lelaki dari mereka ini pasti akan menemukannya. Nah, siapakah orang dari keturunan Salman al-Parsi yang diutus ditengah-tengah kaum “ akhorin “ di akhir zaman ini ?
             
              Jika kita tengok kitab terdahulu akan kita dapati isyarat tentang kedatangan seorang Nabi. Dalam Taurat Kitab Ulangan 18 : 18 ,” seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.” 8)               
               
                Sarjana keislaman manapun akan meyakini bahwa kalimat dalam Ulangan 18 : 18 tersebut adalah isyarat kedatangan Nabi Muhammad SAW, termasuk para ulama Jamaah Muslim Ahmadiyah. Namun apakah saudara-saudara kita dari golongan Nasrani akan meyakini juga yang sama bahwa itu adalah isyarat kedatangan Nabi Muhammad SAW ? Jawabannya adalah tidak. Mereka pasti akan menolak dan membantahnya. Dan yang mereka yakini itu adalah isyarat yang ditujukan kepada Yesus alias Nabi Isa as bin Maryam al-Israeli. Dengan berbagai argumen dan pelbagai alasan tentunya.
                
               Jadi Kitab Suci Al-Quran sebenarnya juga sudah memberikan isyarat atau signal kedatangan “ seorang rasul “ yang akan dibangkitkan ditengah-tengah kaum akhorin. Karena latar belakang pendidikan dan keyakinan yang dianut dan dari golongan mana dia berasal sehingga ada yang bisa menangkap dan tidak menjangkau signal tersebut. Nah, yang bisa menangkap signal kedatangan “ seorang rasul “ itu salah satunya adalah kaum Jamaah Muslim Ahmadiyah atau Ahmadi.
                
                Beberapa Surah dan ayat serta keterangan Hadis diatas semoga bisa dipahami oleh Kiai Asep dan menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaantentang isyarat kedatangan Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
                
                Berkaitan denga Nabi zhili dan Nabi buruzi, mari kita sama-sama buka Al-Quran Surah Ash-Shaff ayat 7 , “ Dan ingatlah ketika Isa ibnu Maryam berkata, Hai Bani Israil ! Sesungguhnya aku Rasul Allah kepadamu sekalian, membenarkan apa yang ada sebelumku yaitu Taurat, dan memberi kabar suka tentang seorang rasul yang akan datang sesudahku yang bernama AHMAD. …..”
                 
                Jelas sekali ayat diatas Nabi Isa as bersabda akan datang seorang rasul yang bernama Ahmad. Kenapa tidak dikatakan yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib. Dalam sejarahnya dari masa kecil hingga dewasa pun tidak pernah didapati Nabi Muhammmad SAW dipanggil atau disebut oleh siapapun sebagai panggilan Ahmad. Dalam wahyu yang diterimanya Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah dipanggil Allah swt dan Jibril r.a. dengan panggilan Ahmad.
                 
                Para mufasirin merujuk kata Ahmad yang disabdakan Nabi Isa as itu sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW mendapati keterangan dari Hadis Nabi SAW yang dalam pengakuannya mempunyai lima nama. Selain nama Muhammad dan Ahmad, beliau SAW juga mempunyai nama Al-Maahii, Al-Haasyir dan Al-Aaqib.
                
              Demikian juga Hazrat Ahmad as , selain mempunyai nama Ahmad dan biasa dipanggil dengan nama Ahmad, dalam pengakuannya kerap mendapatkan wahyu-wahyu yang dimana Allah swt memanggil beliau as dengan seruan, “ Wahai Ahmad….“ Dalam perbincangan di media sosial ada teman yang bertanya , “ Kalau begitu nanti ada orang yang sejak lahir dinamai Ahmad dan mengaku jadi Nabi bagaimana mas ? “ Penulis menjawab , “ Silakan saja, tapi perlu diingat bahwa Allah swt mengancam kepada orang-orang yang berkata dusta atas nama-Nya ( QS. Al-Haqqah ayat 45-47 ).
              
               Sejenak sekilas kita ulas Hadis “ kullu bid’atin dhalalah “ ( segala bid’ah adalah sesat ) sebelum kita beranjak pada bahasan kenabian lebih lanjut. Dalam bukunya ASWAJA Kiai Asep pada halaman 24-71 , dalam kesimpulannya tidak setuju dengan saudara-saudara kita dari mahzab Salafy-Wahabi atau gerakan purifikasi agama yang berpendapat bahwa semua bid’ah tanpa kecuali adalah sesat, dan segala kesesatan di neraka. Hal ini berdasarkan pendekatan atas teks kebahasaan semata.
              
                 Kiai Asep juga menyadari bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendefinisikan dan mengkatagorikan adanya bid’ah ini dan bid’ah itu. Atas pengkajian Al-Quran , Hadis dan keterangan para Imam Mahzab dan pendapat para ulama sehingga menyimpulkan adanya bid’ah Hasanah( bid’ah yang baik ) dan bid’ah sayyi’ah/madzmumah ( bid’ah yang buruk ). Bahkan ada ulama yang lebih merinci adanya hukum bid’ah menjadi lima, ada bid’ah yang haram, makruh, mubah (boleh) , sunnah, bahkan ada yang wajib.
              
                  Jika kita mengamati secara mendalam Surah An-Nisa , Surah Jum’ah dan Surah Ash-Shaff diatas maka jelas sekali adanya Nabi zhilli dan Nabi buruzi. Nabi zhilli dan Nabi buruzi adalah Nabi yang karena ketaatan yang sempurna kepada Nabi yang diikutinya maka dia akan menjadi atau seperti Nabi yang diikutinya itu. Dalam istilah kesufian disebut fana fir al-rasul.
                
               Ya, memang seperti halnya para imam mahzab yang menggali masalah-masalah agama mereka membuat pelbagai istilah baru seperti bid’ah Hasanah dan bid’ah sayyi’ah/madzmumah diatas. Tidak pernah didapati istilah itu di dalam Al-Quran maupun Hadis. Demikian juga Hazrat Ahmad as sebagai seorang teolog ,  melahirkan sebuah istilah dalam kenabian yaitu Nabi zhilli dan Nabi buruzi yang tidak pernah dikenal oleh para ulama sebelumnya.
               
                 Kemudian dalam buku ASWAJA Kiai Asep menukil Hadis-hadis yang berkaitan dengan Nabi Terakhir dan Nabi Penutup 9)  . yang biasa dikenal dengan kalimat  “ Laa Nabiyya ba’da “.
               
                 Mari kita simak pendapat Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuythi dalam kitabnya Turunnya Isa Bin Maryam Pada Azkhir Zaman. Beliau menjelaskan, ” Kalau dia mengatakan ada dalilnya, yaitu sabda Nabi : “ Tidak ada wahyu sesudahku. “ Kami jawab, “ Tidak ada Hadis yang berbunyi demikian. Kalau pun ada, Hadis itu batil, tidak benar. “
               
                 Lebih lanjut Ulama yang biasa menjadi rujukan para Ahlussunnah wal Jamaah ini mengatakan, “ Kalau ada sanggahan dengan dalil Hadis, “ Tidak ada nabi sesudahku. Kami jawab , Dalil ini tidak tepat, karena yang dimaksud “ tidak ada nabi sesudahku yang membawa syariat pengganti syariatku, demikian penafsiran para ulama 10)    
                  
                 Selain penjelasan dari imam As-Suyuthi tentang Hadis “ Laa Nabiyya ba’da “ diatas Kiai Asep juga bisa membuka kisah para Jin yang dihadapan Nabi SAW dibacakan Al-Quran dan mereka mendengarkan dengan hikmat. Ketika pulang dan kembali kepada kaumnya mereka menceritakan dan berkata , “ sesungguhnya kami telah mendengar sebuah kitab yang telah diturunkan sesudah Musa. “ Innaa sami’naa kitaabaa unzila mim ba’di Musa. 11)               
            
                Kenapa Al-Quran dikatakan kitab yang diturunkan sesudah Musa as ( Taurat ). Padahal Kiai Asep pasti tahu ada kitab-kitab apa saja yang sudah diturunkan sesudah Taurat. Tidak perlu penulis merincinya disini.  Lalu salahnya dimana jika warga muslim Ahmadi memaknai mim ba’dismuhuu Ahmad ( QS. 61 : 7 ) dengan ba’da isyarah lil ba’id ( jauh ).   
             
              Sangat jelas sekali apa yang dijelaskan Imam As-Suyuthi dalam hal yang berkenaan dengan masalah wahyu dan kenabian yang tidak membawa syariat baru yang menggantikan syariat Nabi Muhammad SAW yaitu syariat Islam. Juga Al-Quran memberikan suatu contoh kata ba’di diatas.
             
              Berkaitan dengan Al-Quran Surah Al Ahzab ayat 40 ( atau 41 dengan Bismillah ) Nabi Muhammad SAW sebagai Khaatamunnabiyyin dengan diartikan Nabi Terkhir atau Nabi Penutup perlu kiranya Kiai Asep membuka beberapa arti kata khatam yang mempunyai arti selain penutup dan terakhir.
            
                Serperti juga halnya apa yang dikatakan Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqaan , “ Perihal satu kalimat dari Al-Quran mengandung banyak arti adalah semacam mujizat bagi Al-Quran sehingga ( kadang-kadang ) satu kalimat mempunyai dua puluh arti dan kelebihan ini tidak terdapat dalam perkataan manusia.12)   
            
                  Arti lain kata khatam, selain penutup dan terakhir bisa juga afdhol , yang paling sempurna, mulia, cincin , stempel, cap, segel atau materai dan sebuah tanda. Arti lain dari khatam selain penutup dan terakhir bisa disimak kalimat-kalimat dibawah ini.
           
                 Nabi SAW bersabda kepada Ali bin Abi Tholib, “ Aku khatam bagi Nabi-nabi, dan engkau hai Ali, khatam bagi wali-wali. “ Apakah sesudah Ali r.a. wafat tidak ada lagi wali-wali ? Tentu tidak. Setelah Ali r.a. masih banyak muncul wali-wali sesudahnya.13)  
            
                  Siti Aisyah r.a. berkata , “ Katakanlah olehmu bahwa ia ( Muhammad SAW ) adalah khatamannabiyyin dan janganlah kamu katakan : Tidak ada Nabi lagi sesudahnya.” Kenapa Aisyah r.a. berpesan demikian, karena akan muncul nanti “ Isa akhir zaman “ yang berpangkat Nabi dan Rasul.14)  
             
                  Ketika Ibrahim putra Nabi Muhammad SAW dari istri beliau yang bernama Maria Qibthiyah wafat, beliau SAW bersabda, “ Jika ia ( Ibrahim ) hidup, tentu ia akan menjadi Nabi yang benar. “  Kewafatan Ibrahim putra Rasul ini bukan lantaran ditutupnya pintu kenabian, bukan juga karena adanya gerhana matahari atau bulan. Dan juga bukan disebabkan turunnya ayat khatamannabiyyin , sebab peristiwa kewafatan Ibrahim ini terjadi pada tahun ke-9 Hijrah, sedangkan ayat khatamannabiyyin sudah turun pada tahun ke-5 Hijrah.15)
              
                  Itulah beberapa contoh kata khatam yang dirangkai dengan kalimat lain yang tidak merujuk atau bermakna penutup atau akhir. 
               
                 Kata Khaatam yang dirangkai dengan kata Nabi menjadi Khaatamunnabiyyin mempunyai banyak arti dan makna sesuai rangkaian kalimat di dalamnya. Ditelisik dari aspek asbabun nuzul-nya ayat tersebut maka tidak ada relevansinya jika dimaknai dengan Nabi Terakhir atau Nabi Penutup. Yang menjadi pertanyaan, apakah turunnya ayat itu untuk menjawab adanya desas-desus atau secara terang-terangan ada si Fulan atau si Fulani mendakwakan diri menjadi Nabi atau Rasul. Ternyata tidak atau bukan itu masalahnya.
               
                   Nabi Muhammad SAW menikahi Zainab r.a. yang mana wanita itu adalah janda bekas anak angkatnya sendiri yaitu Zaid bin Haritsah r.a. Melihat hal itu para penentang yang memusuhi beliau SAW mempunyai alibi untuk merendahkan martabat beliau SAW sebagai orang yang mempunyai akhlak rendah yang tidak sepatutnya dilakukan.
               
                  Maka turunlah ayat itu atas pembelaan Allah swt dengan mengatakan Muhammad SAW itu bukan bapak diantara kalian, termasuk bukan bapaknya Zaid r.a.. Anak angkat tidak bisa disamakan dengan anak kandung. Tetapi Muhammad SAW  adalah Rasul Allah, dan bukan saja seorang rasul biasa tetapi dia adalah rasul yang paling mulia diantara para rasul.
              
                   Demikianlah Kiai Asep,  kenapa Jemaah Muslim Ahmadiyah mengambil arti Khaatamunnabiyyin sebagai Nabi yang paling mulia karena melihat dari asbabun nuzul ayat tersebut. Kalau pun diartikan sebagai Nabi Terakhir atau Nabi Penutup maka dimaknai dalam arti Nabi Terakhir yang membawa syariat. Seperti penjelasan Imam As Suyuthi diatas tidak ada wahyu dan kenabian yang menggantikan syariat beliau SAW.
              
                Ketika sedang asik menikmati makan sayur bersama beberapa keluarga di kalangan warga Ahmadi dikejutkan dengan sebuah tayangan televisi swasta. Bukan melihat tayangan BreakingNews karena saudara mereka terkena musibah, bencana gunung meletus atau gempa berkekuatan dahsyat. Tetapi menyaksikan tayangan rohani yang bertajuk “ Tafsir Al-Bisbah “ di sebuah televisi swasta tersebut pada tanggal 10 Ramadhan 1438 H/ 5 Juni 2017. 16)   
              


                Apa sebab, sebagai narasumber acara tersebut Bapak Prof. Dr.  K.H. Quraish Shihab mengatakan yang mempercayai adanya Nabi lagi kelompok di luar Islam seperti Ahmadiyah dan Bahai. Tentu saja mengejutkan, Kiai yang selama ini dikenal dengan pemikiran dan pandangan yang moderat ikut-ikutan memfatwa di luar Islam kepada Jamaah Muslim Ahmadiyah.
                      

                 Kiai Quraish dalam bahasan Surah Al-Ahzab ayat 36-44 itu ketika menjelaskan ayat ke-40 memaknai Khatannabiyyin dengan “ penutup para nabi “ dan “ tidak ada lagi Nabi “. 
                      
                Menengok kembali Sabda Nabi SAW tentang , kullu bid’atin dhalalah “ yang dimaknai sebagai “ segala bid’ah adalah sesat, tanpa kecuali “ oleh saudara-sauadara dari mahzab Salafy-Wahabi. Rupanya baik Kiai Asep maupun Kiai Quraish mengambil makna khatamannabiyyin meniru-niru atau mengikuti metode saudara-saudara kita dari mahzab Salafy-Wahabi yang memaknai suatu kata atau kalimat dari kebahasaaanya saja.
                 
               Tanpa melihat dari arti lain dari kata Khatam, asbabun nuzul-nya ayat dan qorinah-nya kalimat tersebut menjatuhkan vonis di luar Islam. Dari beberapa Hadis bisa kita temui Sabda Nabi SAW yang mengatakan : dia yang membunuh saudaranya sesama muslim maka menjadi kafir, siapa yang meninggalkan sholat maka menjadi kafir, budak sahaya yang meninggalkan majikannya maka menjadi kafir. Lalu atas dasar apa pak Kiai Quraish menjatuhkan vonis kelompok Ahmadiyah di luar Islam ?
                 
                 Kembali kepada Al-Quran, siapakah yang berhak menilai sesorang itu sesat dan dalam petunjuk. “ Sesungguhnya Tuhan engkau Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui mereka yang mendapat petunjuk, “ QS. Al-Qalam ayat 8.
                  
                  Siapa yang disebut muslim oleh Nabi Muhammad SAW. Dari Anas bin Malik , katanya, “ Rasulullah SAW bersabda , “ Barangsiapa shalat seperti kita, menghadap kiblat seperti kita , dan memakan hewan sembelihan seperti kita, maka dia adalah seorang muslim yang berada di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu janganlah kalian mengkhianati Allah perihal perlindungan-Nya itu. “  ( H.R. Bukhari ).  
                   
               Untuk melihat apakah warga muslim Ahmadiyah itu benar-benar termasuk ke dalam golongan muslim atau di luar Islam ( kafir ), jalan satu-satunya Kiai Quraish, Kiai Asep atau ulama siapa saja musti bertandang ke masjid-masjid warga muslim Ahmadiyah. Melihat langsung bagaimana tatacara shalatnya, menghadap kemana dan sembilhan hewan apa yang mereka makan. 

Al-Masih Al-Mau’ud Akan Datang Sebagai “ Nabi baru “ atau  “Nabi Lama “               
                
              Menggarisbawahi kembali komentar Kiai Asep di Buku ASWAJA diatas , “.......Al-Quran juga telah menegaskan bahwa agama Islam telah sempurna sehingga tidak memerlukan seorang Nabi baru. Keyakinan Ahmadiyah bahwa masa ini masih memerlukan seorang Nabi  justru mencederai kesempurnaan Islam.  Membaca kalimat ini penulis menjadi tersenyum dan geleng-geleng kepala karena terheran-heran. Kehadiran  “ Nabi baru “  tidak diperlukan tetapi “  Nabi lama “ yaitu Isa bin Maryam ditungu-tunggu kedatangannya seperti sudah diputuskan dalam Muktamar Nahdlatu Ulama ke-3 di Surabaya tanggal 12 Robiuts-Tsani 1347 H/28 September 1928 M , bahwa meyakini  turunnya  Nabi Isa as di akhir zaman sebagai Nabi dan Rasul adalah WAJIB 17) 
             
              Dan penulis juga akan bertanya disini kepada Kiai Quraish, bagaimana pendapat Kiai dengan kelompok yang mempercayai ada Nabi lagi yaitu “ Nabi lama “ yang akan datang setelah Nabi Muhammad SAW apakah juga di luar Islam ?    
             
             Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sudah menjadi Rasul sebelum diciptakannya Adam. Demikian juga Hazrat Ahmad as bukanlah merupakan sosok “ Nabi baru “ yang dikatakan Kiai Asep, beliau as sudah dinubuwatkan kehadirannya oleh Nabi Muhammad Musthafa SAW.
              
                Hazrat Ahmad as mendapatkan wahyu , kasyaf dan ilham dari Allah swt yang menunjukan bahwa Nabi Isa as sudah wafat. Banyak ayat-ayat dalam Al-Quran yang jelas maupun tersirat menunjukan hal itu. Sebuah hadis juga mengatakan usia Nabi Isa as adalah 120 tahun.
               
                Prof. Dr. K.H. Hamka dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhar dalam bahasan Surah Ali Imran ayat 55, ayandanya Haji Rasul, Al-Alusi, Syeik Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, Syeik Muatafa al-Maraghidan sederet ulama yang tidak bisa disebutkan disini satu persatu juga mengamini pendapat Hazrat Ahmad as  , yaitu Nabi Isa as sudah wafat.  
               
               Dalam tayangan di televisi swasta Kiai Quraish juga berpendapat yang sama tentang kewafatan Nabi Isa as dalam bahasan yang sama pula  Ali Imran ayat 55-63 di “ Tafsir Al-Misbah “ 18)                  
              
                Pada bahasan Ali Imran 55 ( 56 dengan bismillah ) di satu sisi kelompok umat Islam ada yang mengartikan kata tawaffa dengan wafat atau mati, di kelompok lain ada yang memaknai dengan tidur. Jika warga muslim Ahmadiyah mengartikan khatamannabiyyin sebagai Nabi yang paling mulia kemudian berujung pada pemisahan di luar Islam. Pertanyaan buat pak Kiai Quraish adalah kelompok manakah yang berada di luar Islam, yang mengartikan tawaffa itu mati atau tidur ?   
              
                 Kiai Quraish Shihab dalam harian Republika, halaman 10 tanggal 18 Nopember 1994 menulis, "Bahwa Isa a.s kini masih hidup di langit, bukanlah satu kewajiban untuk mempercayainya, serta beberapa hadits yang berkaitan dengan kenaikan Isa Al Masih dan akan turunnya kelak menjelang kiamat. Hadits-hadits tersebut walaupun banyak kesemuanya bermuara pada dua orang saja, yang keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka'ab Al Akhbar dan Wahab bin Munabbih. Tidak sedikit ulama yang menilai bahwa informasi mereka pada hakekatnya bersandar dari sisa kepercayaan kedua perowi hadits-hadits itu."
               
               Kali ini pertanyaan buat Kiai Asep, apakah hukumnya meniru-niru atau menyerupai orang kafir baik itu perilakunya, cara berpakaian apalagi meniru-niru aqidah atau kepercayaan mereka ?
              
                Pendapat Hazrat Ahmad as yang mengatakan Nabi Isa as sudah wafat bukan dalam upaya beliau as melapangkan jalan atas pendakwaannya sebagai Majaz Isa Akhir Zaman atau Al-Masih Al-Mau’ud. Pendapat bahwa Nabi Isa as masih hidup di langit jelas bertentangan dengan dalil aqli maupun naqli . Allah swt sudah menetapkan Nabi Isa as adalah Nabi yang diutus untuk kaum Bani Israel ( QS. QS. 3 : 49-50 ) dan yang diajarkannya adalah Kitab Taurat dan Injil. Nabi Isa as dan ibudanya adalah manusia biasa yang membutuhkan makan dan minum ( QS. 5 : 76 ). 
              
                Lagi-lagi metode penafsiran para ulama yang masih menganggap Nabi Isa as masih hidup di langit dan nanti akan turun lagi sebagai Nabi dan Rasul menjelang Kiamat menggunakan cara pandang seperti saudara-saudara kita Salafy-Wahabi. Seperti halnya yang diungkapkan Kiai Asep di buku ASWAJA di halaman 101, “.... Mereka memaknai ungkapan-ungkapan yang dikaitkan dengan Allah swt seperti “ istiwa “ ( bersemayam ) , al-jihat ( arah ), al-jismiyah ( jisim ), al-maji ( datang ) dalam makna hakiki bukan majasi 19)                 
            
                Satu lagi pertanyaan buat Kiai Asep, apa bedanya cara memaknai Kiai Asep dan para ulama yang berpendapat Nabi Isa as masih hidup hingga sekarang dengan mahzab Salafy-Wahaby jika kata raafi’uka  ( mengangkat-mu kepada-Ku ) dan rafa’ahullahu ilaihi ( Allah mengangkat kepada-Nya ) dimaknai dengan makna Hakiki ?
            
Ahmadiyah Islam Rahmatan lil ‘Alamin
            
           Apa yang ditulis oleh Bapak Dr. Asep Saifuddin , M.A. ketua Umum PP. PERGUNU dalam bukunya ASWAJA bahwa perspektif Nahdlatul Ulama , ada beberapa pola hubungan , yaitu ukhuwwah Islamiyah ( persaudaraan sesama muslim ), Ukhuwwah wathaniyyah ( persaudaraan sebangsa dan setanah air ) dan ukhuwwah basyariyyah ( persaudaraan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.9)  Pola hubungan ini juga sama apa yang dipraktekan oleh Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia maupun Jamaah-Jamaahnya di seluruh pelososk dunia. Dimana pun warga Ahmadi berada dia harus menjalin hubungan yang baik sesama muslim yang Ahmadi maupun non-Ahmadi, dia harus mematuhi segala hukum dan peraturan yang berlaku dimana dia tinggal dan menjadi warga Negara yang baik.
              Hendaknya ulama menjadi contoh teladan bagi umat, tidak lagi melontarkan kata dan fatwa sesat dan kafir serta menggolongkan di luar Islam kepada sesama muslim yang mempunyai keyakinan dan penafsiran yang berbeda dalam memahami suatu ayat dalam Al-Quran maupun Hadis. Untuk itu penulis sampaikan salam hormat yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Kiai Sahal Mahfuz , Kiai Tholhah dan Kiai Nazaruddin Umar yang menjadi contoh teladan tidak menggunakan kata-kata sesat-menyesatkan terhadap Jamaah Muslim Ahmadiyah. 
           Jemaat Muslim Ahmadiyah mempunyai motto yang selalu dipegang “ Love For All Hatred For None “ , Kecintaan kepada semua tidak ada kebencian kepada siapa pun. 

*Penulis adalah Da’i Ilallah dan aktifis Ahmadiyah Jakarta
Mobile : 081807335402

Daftar Pustaka :
1 ). Debat Terbuka Kiai Muda NU Jawa Timur dan K.H. Said Aqil Sirojpada 20 Oktober 2009 Laman Channel Youtube :  
https://youtu.be/hkSyVLga1kg
2). Kitab Eik Ghalaty Ka Izalah,Terjemah Bahasa Indonesia, JAI hal. 1.
3). Hz Mirza Ghulam Ahmad , Ruhani Khazain, juz 22 , hal.154 .
4). Buku ASWAJA Pedoman untuk Pelajar, Guru , dan Warga NU Dr. K.H. Asep       Saifuddin Chalim, M.A. , Emir ,  Imprint Penerbit Erlangga  @2017 hal. 216
5). Surah An Nisa ayat 70,  Al-Quran Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2014 , setiap Surah dengan Bismillah dihitungan ayat pertama ( ke-1 ) dan selanjutnya dalam Al-Quran terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
6). Surah Al-Hajj ayat 76,  Al-Quran Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2014.
7). Surah Al-Baqarah ayat 5,  Al-Quran Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2014.
8). Kitab Ulangan 18 : 18, Lembaga Alkitab Indonesia Jakarta 1975 ).
9 ). Buku ASWAJA : Pedoman untuk Pelajar, Guru, dan Warga NU hal. 217
10). Buku Turunnya Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman : Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthi , CV.Haji Masagung , cetakan kedua September 1990, hal.52-53.
11). Sura Al-Ahqaf ayat 30-31, Al-Quran Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2014.
12).  As-Suyuthi ,Kitab Al-Itqaan Juz 1 , bagian 39 .   
13). Tafsir Ash-Shafi
14).  Tafsir Ad-Durrul Mansur , Juz 5, hal. 204.
15). Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah , Alqazwaini, Darul Fikr, Jilid II, p.484, hadis no. 1511.
16). Laman Channel Youtube MetroTV 10 Ramadhan 1438H/5 Juni 2017 https://www.youtube.com/watch?v=uf2350vPebE


17). Buku Akhkamul Fuqaha Kumpulan Masalah-masalah Dinyah dalam Mu’tamar NU ke 1s/d 15 Pengurus Besar NAHDLATUL ULAMA dan diterbitkan oleh CV.Taha PutraSemarang, halaman 34-35).
18). Tafsir Al Misbah Surah #3 Aali Imran Ayat 55-62, Metro TV 9 Ramadhan / 21 September 2007 Laman Channel Youtube:  https://www.youtube.com/watch?v=1dspD46a-uw&t=665s   
19). Buku ASWAJA Pedoman untuk Pelajar, Guru , dan Warga NU Dr. K.H. Asep Saifuddin Chalim, M.A. , Emir ,  Imprint Penerbit Erlangga  @2017, hal. 101 sub Judul : Perbedaan Salafi-Wahabi dan Ahlussunnnah Wal-Jamaah. 

Penulis bersama Akhmad Sahal intelektual muda NU dalam kesempatan acara Diskusi di Gedung PBNU Jakarta 







Jaga Dan Lindungi Keluarga Dan Diri Anda Dari Serangan Nyamuk Yang Menyebabkan Demam Berdarah Dan Penyakit Lainnya Dengan Lampu Anti-Nyamuk Blackhole
 Kunjungi http://natijar.com/product/detail/56   

Nutrilite Salmon Omega-3 Complex Mengandung Vitamin E 20,1 mg dan Salmon Oil yang mengandung Asam Lemak Omega 3 Esensial (180 mg EPA (Eicosapentaenoic Acid) dan 120 mg DHA (Docosahexaenoic Acid)) untuk membantu memelihara kesehatan. POM SI 044 512 011.Hubungi ; 08129307398 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH NASIONAL

KEBANGSAAN DAN AGAMA